-
CARA (DEMOKRATIS) MEMILIH KEPALA DAERAH
Kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) merupakan salah satu komponen dari pemerintahan daerah bersama-sama dengan DPRD (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan(Pasal 18 ayat 2 UUD 1945). Tentu saja, berdasarkan fungsinya masing-masing. Kepala daerah menjalankan fungsi eksekutif, sedangkan DPRD menjalankan fungsi legislatif. Meskipun secara bersama-sama menjadi komponen pemerintahan daerah, namun kedua komponen tersebut dipilih melalui cara yang berbeda. DPRD, anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat 3 dan 4 UUD 1945). Cara pemilihan yang demokratis seperti apa, UUD 1945 tidak mengatur dan tidak pula memberikan penjelasan lebih lanjut.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) menurut UUD 1945 inilah yang kemudian memicu perdebatan banyak kalangan tatkala pemerintah dan DPR sedang berpacu dengan waktu menuntaskan RUU Pilkada, yang rencananya akan disahkan akhir September ini. Kubu yang satu menginginkan kepala daerah dipilih (langsung) oleh rakyat, sedangkan kubu yang lain menginginkan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Perbedaan pendapat antara kubu pendukung pilkada langsung dan pilkada perwakilan dalam pembahasan RUU Pilkada agaknya akan sangat sulit diakhiri, bila titik tolak perdebatannya tidak didudukkan secara benar. Perdebatan tentang cara pemilihan kepala daerah seharusnya ditempatkan pada suatu titik yang diinginkan oleh UUD 1945, yaitu demokratis. Apakah pilihan-pilihan yang diperdebatkan itu atau manakah dari pilihan-pilihan itu yang benar-benar merupakan pemilihan kepala daerah yang demokratis menurut UUD 1945?
Oleh karena UUD 1945 tidak menjelaskan secara konkrit maksud “dipilih secara demokratis” yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3), maka satu-satunya sumber yang dapat dijadikan dasar untuk menjelaskan makna frase “dipilih secara demokratis” tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi. Mengapa? Karena Mahkamah Konstitusilah satu-satunya lembaga negara yang diberi kewenangan menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dan penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution). Dan ternyata, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072- 073 /PUU-II/2004 secara tegas menyatakan bahwa Pilkada langsung merupakan pelaksanaan dari Pasal 18 UUD 1945, sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukumnya (halaman 110) menyatakan, “... Namun demikian Pilkada langsung adalah pemilihan umum secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 UUD 1945”.
Disamping itu, meskipun sebenarnya pemilihan kepala daerah yang demokratis –disamping dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, juga dapat dilakukan melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen (DPRD) sebagai representasi kepentingan rakyat, namun lembaga perwakilan rakyat kita hari ini belum dapat dianggap sebagai representasi penuh (fully representation) dari rakyat mengingat kehadiran mereka lebih merepresentasikan partai politik ketimbang konstituen yang memilihnya. Sistem pemilihan umum anggota DPRD kita saat ini baru bisa melahirkan wakil-wakil partai, tapi belum mampu melahirkan wakil-wakil rakyat,. Akibatnya, kekhawatiran suara partai lebih dinomorsatukan ketimbang suara rakyat dalam pengambilan putusan termasuk dalam memilih kepala daerah, masih sangat besar. Berpijak pada tafsir konstitusi yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan realitas anggota DPRD yang masih belum sepenuhnya menjadi wakil rakyat, pemilihan kepala daerah secara langsung—sebagaimana halnya pemilihan anggota DPRD yang selama ini dilakukan, seyogyanyalah merupakan cara yang demokratis menurut UUD 1945 saat ini.