-
Hukuman Mati Bagi Koruptor
Beberapa waktu lalu terjadi pro dan kontra terhadap RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU PTPK) sebagai pengganti UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tidak lagi memasukkan ancaman hukuman mati (the death penalty) terhadap terpidana korupsi. Penghapusan hukuman jenis ini, di satu sisi dipandang telah menghilangkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena tidak lagi menimbulkan efek jera bagi pelakunya, namun di sisi lain dianggap sejalan dengan prinsip hak asasi manusia yang memandang hak untuk hidup (the right to life) tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable right).
Apakah keluarbiasaan suatu kejahatan hanya diukur dari ada tidaknya ancaman hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya? Apakah pencantuman ancaman hukuman mati dalam sebuah undang-undang sejalan dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945?
Ancaman pidana dalam RUU PTPK diatur mulai dari Pasal 2 s/d Pasal 22 dari total 68 pasal yang ada dan tak satu pun pasal yang mencantumkan ancaman hukuman mati sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut sebenarnya tidak secara otomatis dapat diberlakukan, melainkan hanya dalam keadaan ‘tertentu’ yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Pada level praktis, ancaman hukuman mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) ini pun belum pernah diterapkan oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi. Namun yang jelas, korupsi tetap makin merajalela sekalipun undang-undang telah mengancam pelakunya dengan hukuman mati!. Bagaimana bila Pasal 2 ayat (2) diterapkan? Belum tentu juga menjerakan, karena beberapa kejahatan lain justeru kian marak terjadi sekalipun pelakunya diganjar dengan hukuman mati (seperti terorisme, narkotika, dan pembunuhan berencana).
Cara luar biasa dalam menangani kejahatan korupsi –yang selama ini dipersepsi— baik dengan pencantuman hukuman mati bagi pelakunya maupun pemberian kewenangan luar biasa kepada KPK terbukti tidak cukup ampuh. Dua sebab utamanya adalah, undang-undang tidak menjadikan KPK sebagai satu-satunya institusi (single institution) yang berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi, sehingga fungsinya kurang berjalan efektif karena seringkali berbenturan dengan kejaksaan dan kepolisian yang (dalam beberapa proses hukum) memiliki kewenangan serupa dengan KPK. Sebab lain, undang-undang belum memberikan jaminan perlindungan dan/atau pembebasan hukuman terhadap pelaku yang menjadi pelapor (wistle blower) dalam kasus korupsi terorganisir (organized corruption) yang rumit dan sulit pengusutannya seperti kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan dan cek pelawat yang melibatkan Miranda S. Gultom. RUU PTPK disamping belum mengakomodir kedua hal prinsip ini, juga menjadi ‘pencukur’ kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan dan penuntutan yang selama ini diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 dengan hanya memberikan kewenangan melakukan penyidikan yang juga dimiliki kejaksaan dan kepolisian (Pasal 31 ayat 2).
Disamping itu, perdebatan tentang perlu tidaknya penerapan hukuman mati dalam hukum pidana nasional sudah saatnya diluruskan, tidak hanya dari aspek filosofis pemidanaan tapi juga konstitusionalitasnya. Secara filosofis, penghukuman atau pemidanaan tidak semata-mata dimaksudkan sebagai bentuk pembalasan, tapi juga pemulihan (restorative) dan perbaikan (rehabilitative) bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Sedangkan secara konstitusional, penerapan hukuman mati harus dikonfrontasikan dengan Pasal 28I UUD 1945 melalui interpretasi gramatikal yang secara tegas melarang mengurangi hak hidup seseorang dalam keadaan apa pun. Dengan demikian, pembatasan hak asasi manusia oleh negara yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945 mestinya tidak dijadikan dasar pembenar untuk mempertahankan penerapan hukuman mati, karena makna ‘mengurangi’ berbeda dengan ‘membatasi’.
Penghapusan hukuman mati dalam RUU PTPK - sebagaimana RUU KUHP juga menganutnya secara 'perlahan-lahan' - diyakini tidak akan mengurangi sifat keluarbiasaan korupsi, sepanjang hal-hal prinsip lain dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tetap dipertahankan dengan mengakomodir prinsip single institution dan wistle blower protection.
Untitled Document