Untitled Document
  • Kampanye Terselubung, Antara Etika dan Norma Hukum

    Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Serentak  (PILKADAS) di Provinsi Sumatera Barat dan 13 Kabupaten/Kota yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu, makin semarak dengan bertebarannya berbagai spanduk, baliho, foto, stiker, dan alat peraga lainnya milik pasangan calon, pasca penetapan nomor urut yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Beberapa bakal calon bahkan sudah memasang foto dan balihonya sampai di pelosok-pelosok negeri, jauh sebelum mendaftarkan diri sebagai pasangan calon. Langsung maupun tidak, pemasangan atribut-atribut dengan tampilan yang didesign sedemikian rupa sehingga menebarkan aroma ‘promosi’ diri dari sang tokoh bagi khalayak yang memandangnya, bukan tanpa tujuan. Mereka sesungguhnya secara diam-diam tengah melakukan pencitraan diri (self-image pojection) sekaligus menggalang sebanyak mungkin dukungan dari para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program, agar (kelak) pada hari dan tanggal pemungutan suara menjatuhkan pilihan kepadanya. Inilah yang menurut sebagian pihak dinamakan sebagai kampanye terselubung (veiled campaign).
    Meskipun secara sepintas veiled campaign membuat perhelatan PILKADAS makin semarak, namun tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan atribut-atribut yang makin hari makin bertaburan, menimbulkan kegerahan bagi sebagian kalangan karena dianggap telah melanggar aturan main dalam kampanye. Benarkah kampanye terselubung merupakan sebuah pelanggaran? Bagaimana menertibkan atribut-atribut pasangan calon yang sudah terlanjur terpasang, manakala kampanye terselubung itu bukan merupakan sebuah pelanggaran?
    Perlu terlebih dahulu dipahami, bahwa kampanye merupakan salah satu tahapan dalam penyelenggaraan PILKADAS yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 jo. Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 jo Pasal 1 angka 10 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 69 Tahun 2009 tentang Pedoman teknis Kampanye Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagai  kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon.
    Meskipun peraturan perundang-undangan tentang kampanye telah memberikan batasan tentang pengertian kampanye, namun tidak semua kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 serta Pasal 1 angka 10 PKPU Nomor 69 Tahun 2009 dapat dikategorikan sebagai kampanye. Di dalam Pasal 5 ayat (1) PKPU Nomor 69 Tahun 2009 dinyatakan bahwa suatu kegiatan baru dapat dikategorikan sebagai kegiatan kampanye apabila memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu : 1) dilakukan oleh pasangan calon/atau atau tim kampanye; 2) terdapat unsur meyakinkan para pemilih dalam rangka memperoleh dukungan sebesar-besarnya dalam bentuk penawaran visi, misi, dan program secara tetulis atau lisan; 3) terdapat alat peraga atau atribut pasangan calon; dan 4) dilakukan pada jadwal dan waktu kampanye. Lebih lanjut dinyatakan dalam ayat (2) bahwa terhadap kegiatan yang tidak memenuhi seluruh unsur kampanye secara kumulatif, tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan kampanye. Bila dicermati, keempat unsur kampanye tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu unsur substantif (unsur ke-1 dan ke-2) dan unsur teknis (unsur ke-3 dan ke-4).
    Berdasarkan rumusan definisi dan unsur-unsur kampanye diatas, maka tepatlah kiranya penggunaan istilah kampanye terselubung (veiled campaign) terhadap kegiatan-kegiatan pasangan calon dan/atau tim kampanye yang bernada meyakinkan para pemilih dengan menggunakan alat peraga atau atribut kampanye tetapi dilakukan sebelum jadwal dan waktu kampanye ditetapkan, karena seluruh unsur substantif dan sebagian unsur teknis kampanye telah terpenuhi. Persoalannya adalah larangan kampanye yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) PKPU Nomor 69 Tahun 2009 tidak mungkin dapat diterapkan terhadap veiled campaign yang dilakukan sebelum jadwal dan waktu kampanye, karena ketentuan pasal tersebut secara tegas melarang kegiatan kampanye (sebagaimana diatur dalam UU, PP, dan PKPU) yang dilakukan pada masa sebelum tanggal dimulainya kampanye, diluar jadwal yang telah ditentukan untuk pasangan calon, dan 3 (tiga) hari sebelum tanggal dan hari pemungutan suara. Logika sederhananya adalah, tidak satu pun kegiatan pasangan calon dan/atau tim kampanye termasuk veiled campaign yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan kampanye apabila kegiatan tersebut dilakukan sebelum jadwal dan waktu kampanye.
    Bila dicermati lebih jauh, terdapat dua kelemahan mendasar yang terkandung dalam PKPU Nomor 69 Tahun 2009, yaitu mencantumkan unsur ke-4 (dilakukan pada jadwal dan waktu kampanye) sebagai salah satu unsur kegiatan kampanye dan mencantumkan ketentuan larangan kampanye tetapi tidak diikuti dengan ketentuan sanksi bagi pasangan calon dan/atau tim kampanye yang melanggarnya. Wajarlah kiranya bila kegiatan-kegiatan kampanye terselubung yang dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye tidak pernah bisa dihalangi, ditertibkan, dan ditindak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, karena disamping kegiatan-kegiatan tersebut bukan sebuah pelanggaran, juga tidak ada sanksi dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, dan PKPU Nomor 69 Tahun 2009) yang bisa dijatuhkan. Veiled campaign, bukanlah pelanggaran terhadap norma hukum yang mengatur hal-hal yang boleh dan tidak boleh/dilarang tetapi pelanggaran terhadap etika  berkampanye, yang sepantasnya dilakukan pada jadwal dan waktu yang telah ditetapkan.  Veiled campaign memang tidak mempengaruhi legalitas, tetapi menciderai kualitas penyelenggaraan PILKADAS yang seyogyanya dilaksanakan dengan memperhatikan  aspek pantas dan tidak pantas atau etis dan tidak etis.



    Untitled Document