Untitled Document
  • Membangun Kemandirian KPU

    Saat ini, Komisi II DPR RI tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Salah satu pasal yang hangat diperdebatkan baik di dalam maupun di luar gedung parlemen adalah mengenai persyaratan calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota terkait dengan keterlibatan calon dengan partai politik. Tujuh fraksi mengusulkan agar calon anggota KPU harus mengundurkan diri dari partai politik begitu terpilih, sementara  fraksi lain bersikukuh bahwa anggota KPU harus sudah tidak terlibat dalam keanggotaan atau kepengurusan partai politik minimal lima tahun sebelum mendaftar sebagai anggota KPU.
    Meski kedua usulan tersebut sepintas berbeda, namun secara substantif sama-sama menginginkan anggota KPU tidak boleh terlibat dalam partai politik. Bila argumentasi dasar yang digunakan oleh kedua kubu tersebut adalah dalam rangka menjadikan KPU lembaga yang mandiri, maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah kemandirian siapakah yang hendak dituju dari perdebatan para politisi di DPR RI tersebut, anggota KPU atau institusinya? Apakah seseorang yang sudah lama (lima tahun) tidak terlibat atau baru mundur dari partai politik dapat mempengaruhi kemandiriannya sebagai anggota KPU sekaligus kemandirian KPU sebagai institusi? Syarat apakah yang seharusnya dipenuhi oleh seorang calon anggota KPU agar kelak setelah terpilih benar-benar menjadi komisioner Pemilu sekaligus KPU yang mandiri?
    Kemandirian dalam menyelenggarakan pemilihan umum merupakan perintah Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sayang, tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam UUD 1945 tentang apa yang dimaksud dengan mandiri bagi sebuah lembaga seperti KPU, kecuali Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang menyatakan bahwa KPU dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak manapun.
    Berdasarkan penjelasan UU No. 22/2007 tersebut, berarti yang harus mandiri atau harus bebas dari pengaruh pihak manapun adalah KPU sebagai sebuah institusi dan bukan anggota-anggotanya yang secara personal bisa saja tidak mandiri, karena anggota-anggota KPU adalah juga manusia, yang bebas memilih dan bebas bersikap. Yang tidak boleh adalah seorang anggota KPU dengan mengatasnamakan institusinya  bertindak diskriminatif terhadap salah satu pasangan calon dalam pemilihan umum atau membuat kebijakan yang menyimpang atas desakan pihak tertentu. Persoalannya adalah, sikap anggota-anggota KPU yang secara personal mudah dipengaruhi oleh pihak lain dapat mempengaruhi pola fikir mereka ketika harus bertindak atas nama institusinya sehingga tidak lagi mandiri. Potensi ketidakmandirian secara personal tersebut sesungguhnya tidak sepenuhnya disebabkan karena yang bersangkutan pernah terlibat dalam partai politik atau tidak, tapi lebih pada persoalan integritas pribadi. Jadi, soal lama atau tidaknya seseorang pernah terlibat dalam partai politik tidak secara otomatis berdampak terhadap kemandirian personalnya di KPU, apalagi kemandirian KPU sebagai sebuah institusi. Lain halnya bila pada saat yang bersamaan, seorang calon yang telah ditetapkan sebagai anggota KPU masih terlibat dalam partai politik, maka logika umum meyakini bahwa yang bersangkutan disamping tidak akan mandiri sebagai anggota KPU juga akan mengganggu kemandirian KPU sebagai institusi.
    Agaknya, dengan pemahaman diatas, perdebatan antara fraksi-fraksi di Komisi II DPR RI tentang syarat calon anggota KPU semestinya bukan lagi soal lama tidaknya seorang calon terlibat dalam partai politik tapi pernah tidaknya seorang calon terlibat dalam partai politik. Dengan demikian, dua opsi yang paling tepat untuk diperdebatkan adalah ‘tidak sedang menjadi anggota partai politik’ dan ‘tidak pernah menjadi anggota partai politik’. Dengan meminjam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara Nomor yang menyatakan bahwa ‘untuk menjamin kemandirian lembaga pengawas Pemilu, di samping adanya jaminan Undang-Undang dan penegasan tugas dan wewenangnya yang jelas juga harus ditunjukkan oleh anggota-anggotanya yang memilikikemandirian. Salah satu jaminan kemandirian anggota lembaga pengawas Pemilu ini adalah mekanisme rekrutmen anggota pengawas Pemilu’ dan dengan menganalogikan lembaga pengawas Pemilu sebagai KPU, maka hal terpenting lain yang juga harus diatur dalam RUU Penyelenggara Pemilu adalah mekanisme rekrutmen anggota KPU yang benar-benar dapat menjamin terpilihnya anggota-anggota KPU yang mandiri. Mekanisme rekrutmen anggota KPU yang diatur dalam UU No. 22/2007 dengan melibatkan DPR sebagai lembaga yang melakukan fit and proper test, perlu ditinjau ulang dan diubah dengan menyerahkan seluruh proses seleksi (termasuk fit and proper test) kepada sebuah Tim Independen yang dibentuk oleh Pemerintah bersama DPR untuk selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan menyerahkan proses seleksi kepada Tim Independen, diharapkan conflict of interest dalam proses seleksi dapat diminimalisasi dan anggota-anggota KPU terpilih merupakan figur-figur mandiri yang komit menjaga kemandirian KPU.



    Untitled Document