• Ke(tak)samaan di Depan Hukum

    Beberapa hari belakangan ini kita sering disuguhkan pada tontonan penegakan hukum yang menggelikan sekaligus menyedihkan. Menggelikan karena aparat penegak hukum yang diberi wewenang penuh sebagai pilar utama penegakan hukum seolah tak berdaya menghadapi para ‘bandit kelas kakap’ yang lihai berkelit dan menghilang sebelum dicari. Menyedihkan karena nun jauh di pelosok negeri, masih banyak ‘maling kelas teri’ yang (dalam ketidakberdayaannya) ditangkap, ditahan, dan dihukum tanpa prosedur hukum yang sah. Bahkan tak sedikit diantaranya yang tidak tahu hak-hak mereka sebagai tersangka/terdakwa dan dalam perkara apa mereka diadili.
    Potret ketidaksamaan di depan hukum (un-equality before the law) yang melanda republik berjuluk rechsstaat ini, jelas telah mengingkari amanah Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Tapi mengapa hukum (seolah) hanya berlaku bagi golongan tertentu  saja tapi tidak bagi golongan yang lain? Ibarat pisau, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
    Terseok-seoknya praktek penegakan hukum di Indonesia bukan semata-mata karena kelemahan aparatur penegak hukumnya (legal structure) sebagai salah satu sub-sistem hukum, tapi juga kelemahan substansi hukum (legal substance) dan rapuhnya budaya hukum (legal culture) di tengah-tengah masyarakat. Tiga pilar sistem hukum yang diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman ini, ibarat segitiga sama sisi, saat ini kian sulit memberikan rasa adil bagi masyarakat. Independensi dan integritas aparatur penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat, makin memprihatinkan.  Penahanan hakim berinisial S oleh KPK yang diduga menerima suap beberapa waktu lalu, hampir merobohkan kepercayaan publik terhadap catur wangsa penegak hukum tersebut setelah sebelumnya ada polisi, jaksa, dan advokat yang dihukum karena terlibat korupsi. Demikian pula aturan-aturan hukum positif mulai dari UUD 1945 sampai peraturan daerah dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah, tak luput dari kelemahan baik teknis maupun substantif yang ikut memperburuk wajah penegakan hukum negeri ini. Tak ketinggalan sikap masyarakat khususnya penyelenggara negara yang tak sedikitpun menunjukkan kepatuhan terhadap hukum yang dibuatnya sendiri.
    Selamanya hukum di republik ini tidak akan mampu menjadi panglima, tanpa memperbaiki ketiga sub-sistem hukum yang ada secara simultan. KPK misalnya, tidak akan mampu memberantas korupsi bila kewenangannya diamputasi dan/atau anggota-anggotanya gampang disuap dan/atau korupsi kian menggurita. Aturan-aturan hukum yang masih mengandung kelemahan harus dibenahi, sistem rekrutmen aparatur penegak hukum dan penyelenggara negara (yang beraroma KKN) harus diperbaiki, dan kepatuhan terhadap hukum harus dipraktekkan oleh pejabat/penyelenggara negara tanpa kecuali. ‘Segitiga sama sisi’ sub-sistem hukum Indonesia harus kokoh agar republik ini benar-benar menjadi rechsstaat yangmenjunjung tinggi prinsip equality before the law.



    Untitled Document