-
Kinerja Legislator Kita
Salah satu persoalan serius yang menjadi catatan khusus Departemen Dalam Negeri terhadap kinerja pemerintah daerah dewasa ini adalah masih banyaknya produk-produk hukum daerah berupa peraturan daerah (perda) yang bermasalah. Sejak tahun 2008, Depdagri setidaknya telah membatalkan 973 dari 3.000 perda bermasalah, sedangkan 250 lainnya dalam proses pembatalan (Kompas, 16/07/2008). Pada tahun yang sama, Depdari sempat menyatakan bahwa separoh dari perda yang ada di Indonesia bermasalah (Media Indonesia, 16/07/2008). Bahkan, pada saat ini, tepat setahun usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, masih terdapat ribuan perda yang tumpang tindih (Kompas, 20/10/2010).
Sebagai produk daerah, perda yang bermasalah tentu bukan hanya menjadi tanggung jawab eksekutif (kepala daerah) untuk merevisi dan/atau menggantinya, tetapi juga legislatif (anggota DPRD). Persoalan menjadi makin ruwet (complicated) bila tanggung jawab tersebut hanya dibebankan ke pundak kepala daerah saja, sementara para legislator seolah hanya sebagai tukang ketok palu tanda menyetujui rancangan perda yang diajukan kepala daerah (law enactment approval). Padahal, sebagai legislator yang berfungsi legislasi, anggota DPRD juga memiliki tanggung jawab lain yang jauh lebih strategis, yaitu sebagai pemrakarsa pembuatan perda (legislative initiator). Dalam konteks ini, anggota DPRD seharusnya tidak hanya menunggu rancangan perda yang diajukan oleh kepala daerah, tetapi juga berinisiatif mengajukan rancangan-rancangan perda sebagai implementasi hak initiatif yang mereka miliki.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebahagian besar perda yang dibentuk oleh pemerintah daerah berasal dari rancangan perda yang diajukan oleh eksekutif, sedangkan sebahagian kecil –bila tidak ingin disebut nihil— berasal dari legislatif. Fakta tersebut tidak hanya terjadi dalam kurun lima tahun lalu, sampai saat ini pun jarang sekali ada rancangan perda yang berasal dari legislatif. Di DPRD Provinsi Sumatera Barat misalnya, belum satu pun rancangan perda inisiatif yang mereka lahirkan sejak dilantik tanggal 19 Oktober 2009 (Padang Ekspres, 20/10/2010), padahal dalam kurun waktu setahun seharusnya sudah muncul rancangan perda inisiatif. Jangan-jangan, para legislator yang terhormat itu lebih senang melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar daerah dan/atau negeri sembari bertamasya, ketimbang menampung aspirasi masyarakat dan berfikir untuk mencarikan jalan keluar atas permasalahan yang terjadi melalui rancangan perda inisiatif.
Secara matematis, banyaknya rancangan perda yang berasal dari eksekutif dan minim (nihil)-nya rancangan perda inisiatif dari legislatif di hampir setiap daerah provinsi dan kabupaten/kota, mengindikasikan rendahnya produktivitas legislator kita hari ini.
Rendahnya produktivitas dan/atau nihilnya produktivitas dalam menghasilkan rancangan perda (legislatif draft), tentu berpengaruh terhadap kinerja legislatif secara keseluruhan, setidak-tidaknya dari fungsi legislasi. Tidak mustahil, kurang berjalannya fungsi legislasi yang dimiliki DPRD dalam melahirkan legislative draft disebabkan karena rendahnya kualitas anggota-anggota DPRD dalam merancang perda (legal drafting). Dan bukan tidak mungkin, rendahnya kemampuan legal drafting para anggota DPRD inilah yang menjadi penyebab lahirnya ribuan perda bermasalah di Indonesia, karena rancangan perda yang diajukan oleh eksekutif tidak dibahas secara komprehensif, partisipatif, dan kritis oleh DPRD. Solusinya? Kalangan eksekutif dan DPRD harus menyadari kekurangannya dan berani mereformasi diri, dari sibuk ber-kunker menjadi sibuk berlatih untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai legal drafter!
Untitled Document