-
Mencegah Kekerasan
Kekerasan demi kekerasan berlatar belakang agama dan keyakinan, kembali menimbulkan korban jiwa dan harta. Dua kasus terakhir yang terjadi dalam waktu hampir bersamaan di Cikeusik, Banten dan di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa hari lalu menjadi bukti betapa kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini ibarat ‘api dalam sekam’, dari luar tampak tenang tapi di dalam menyimpan bara yang daya bakarnya sulit dicegah.
Insiden Cikeusik yang menewaskan tiga jemaah Ahmadyah dan Temanggung yang menghanguskan dua rumah ibadah milik penganut salah satu agama (Padang Ekspres, 09/02/2011) patut disesalkan. Bukan karena perbuatan pelakunya atau ketidakmampuan aparat keamanan mencegah timbulnya kekerasan, tapi karena seringnya peristiwa seperti itu terjadi tanpa upaya konkrit yang menyelesaikan.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi yang dijamin dan dilindung oleh UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005. Adanya beragam agama dan keyakinan yang dianut oleh penduduk Indonesia hari ini, semestinya tidak menjadi ancaman ke-Bhinekaan Indonesia yang Tunggal Ika bila negara benar-benar menjalankan kewajibannya sebagai penanggung jawab utama pemenuhan (fulfillment), penghormatan (respecful), dan perlindungan (protection) hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ketiga tanggung jawab utama pemerintah ini mustahil dapat dilaksanakan dengan baik mengingat masing-masing agama dan kepercayaan memiliki perbedaan prinsipil (disamping mungkin saja terdapat persamaan) yang tidak bisa ditoleransi satu sama lain dan berpotensi menimbulkan benturan atau konflik bila pemerintah tidak hadir sebagai ‘penjaga’ atas pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sekaligus ‘penegak’ atas kekerasan yang timbul akibat perbedaan agama dan keyakinan itu.
Kekerasan berlatar belakang agama dan keyakinan timbul bukan semata-mata karena ketidakmampuan aparat keamanan melakukan pencegahan dini, tapi lebih disebabkan karena ada salah satu kelompok yang merasa kebebasan beragama dan berkeyakinannya telah dilanggar/dinodai oleh kelompok lain, sementara kelompok yang dianggap telah melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan kelompok tersebut justeru merasa memiliki hak untuk menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaan yang diyakininya. Persoalannya, meskipun kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat ‘dibatasi’ –bukan ‘dikurangi’ atau ‘dihilangkan’—, namun sampai saat ini, pemerintah belum secara maksimal membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan suatu kelompok tertentu sehingga dalam pelaksanaannya sering menimbulkan benturan dengan kelompok lain. Upaya pembatasan mana sesungguhnya telah digariskan dalam Pasal 28J UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Sayangnya, undang-undang yang benar-benar membatasi sekaligus menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap orang secara adil tak kunjung dilahirkan, padahal keberadaannya sungguh sangat mendesak. Agaknya, berbagai konflik dan kekerasan berlatar belakang agama dan keyakinan yang terjadi selama ini dapat dicegah dengan mengatur hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut dalam suatu undang-undang sesuai amanat Pasal 28J UUD 1945.
Untitled Document