-
Mentalitas Korup
Korupsi di Indonesia merupakan sebuah phenomena unik. Ia menjadi semakin sulit diberantas, justeru ketika upaya pemberantasannya kian digalakkan. Lembaga pemberatasnya pun tidak hanya satu KPK saja, tapi juga kepolisian dan kejaksaan dengan pengadilan yang khusus dibentuk untuk itu bernama Pengadilan Tipikor. Tapi korupsi tidak hanya makin tumbuh subur, melainkan makin menggurita dan sulit dikendalikan. Jangankan masyarakat awam, kalangan akademisi dan praktisi bahkan penegak hukum sendiri terkadang sering tak habis fikir menyaksikan karut-marut pemberantasan korupsi yang masih jauh dari berhasil. Mengapa korupsi tak kunjung berkurang? Apa yang salah dengan pemberantasan korupsi selama ini?
Kegagalan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini tak lepas dari lemahnya strategi dan pendekatan yang selama ini digunakan. Sebutan korupsi sebagai extraordinary crime belum diikuti dengan langkah-langkah luar biasa (extraordinary effort) dalam menangani kasus-kasus korupsi, seperti sistem pemidanaan yang lebih berorientasi pada perbaikan/pemulihan perilaku (restorative jusctice), perlindungan terhadap pelaku yang menjadi saksi pelapor (wistle blower), penggunaan pembuktian terbalik, dan penanganan melalui satu lembaga (single institution) yang berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut kasus korupsi. Pemberantasan korupsi belum berorientasi pada pendekatan yang bersifat preventif melalui program pembangunan karakter (character building) dalam rangka perbaikan mental dan budaya masyarakat dari permisif ke konfrontatif terhadap korupsi.
Pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK belum menyentuh akar persoalan yang menjadi penyebab tumbuh suburnya korupsi di Indonesia. Korupsi yang dipersepsikan sebagai perbuatan melawan larangan-larangan dalam undang-undang, timbul karena sikap acuh tak acuh dan permisif dari sebahagian besar masyarakat terhadap perilaku-perilaku negatif yang menjadi bibit korupsi, seperti tidak konsisten, tidak disiplin/tepat waktu, kompromistis terhadap aturan, lalai dengan tanggung jawab, bersekongkol (collution), mendahulukan kerabat/famili (nephotism), tidak transparan, tidak obyektif, dan anti terhadap kritik. Perilaku-perilaku seperti ini sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di setiap level mulai dari kalangan masyarakat kelas bawah, menengah, sampai atas, dan cenderung dimaklumi sebagai sesuatu yang wajar terjadi sepanjang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Padahal, perilaku-perilaku negatif seperti ini seyogyanya dihindari dan dicegah karena dapat merusak pola fikir dan mendorong terjadinya korupsi.
Korupsi yang terjadi, selamanya akan terus terjadi dan semakin sulit diberantas bila langkah-langkah represif terhadap pelaku korupsi tidak diimbangi dengan langkah-langkah preventif yang dilakukan untuk mencegah berkembangnya mentalitas korup menjadi perilaku korup. Mentalitas korup dalam masyarakat harus diubah menjadi mentalitas anti-korup. Upaya ini bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan, sepanjang kita masih menganggap korupsi merupakan penyakit berbahaya yang harus dibumihanguskan. Barangkali, cukup memulainya dari diri sendiri untuk tidak lagi berperilaku negatif dalam keluarga dan saling mengingatkan bila ada diantara anggota keluarga, teman, dan sejawat yang tanpa sadar masih melakukannya. Percaya atau tidak, menghilangkan mentalitas korup akan menjauhkan diri dari perilaku korup sekaligus mencegah orang lain bermental dan berperilaku korup. Semoga!
Untitled Document