-
Pengadilan (Khusus) Perselisihan Pemilu
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) hampir tidak pernah luput dari pelanggaran dan perselisihan. Sejak tahun 1955 hingga 2014, penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang telah berlangsung sebanyak 11 (sebelas) kali, diwarnai dengan berbagai pelanggaran dan perselisihan. Fakta ini memang sulit dihindari, mengingat dalam penyelenggaraan pemilu banyak sekali kepentingan yang terlibat, ditambah tingkat kesadaran berdemokrasi masyarakat Indonesia yang masih relatif rendah. Kondisi ini jelas tidak bisa dijadikan alasan untuk ‘memaklumi’ dan membiarkan pelanggaran dan perselisihan terjadi terus-menerus selama pemilu tanpa penyelesaian, karena pemilu yang demokratis mengharuskan adanya mekanisme penyelesaian pelanggaran dan perselisihan yang mengedepankan keadilan substantif (substantive justice) dan benar-benar menjadi solusi atas berbagai perselisihan yang terjadi.
Meskipun telah berkali-kali menyelenggarakan pemilu, penyelesaian perselisihan pemilu di Indonesia selama ini diatur dalam undang-undang berbeda dan dengan mekanisme yang berubah-ubah dari periode pemilu yang satu ke periode berikutnya. Misalnya, perselisihan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) diatur dalam Undang-Undang Pilpres, sedangkan perselisihan pemilu anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD atau pemilu legislatif (pileg) diatur dalam Undang-Undang Pileg. Perselisihan dalam Pileg dan Pilpres 2004 diluar perselisihan hasil, menurut UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselesaikan dengan putusan yang bersifat final dan mengikat oleh pengawas pemilu, sedangkan dalam Pileg dan Pilpres 2009, menurut UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden justeru tidak tersedia mekanisme penyelesaian perselisihan pemilu selain penyelesaian pelanggaran (administrasi dan pidana) pemilu dan perselisihan hasil pemilu.
Berbeda dengan Pileg 2004 dan 2009, penyelesaian perselisihan diluar perselisihan hasil dalam Pileg 2014 dilakukan oleh badan pengawas pemilu (bawaslu) dengan putusan yang bersifat final dan mengikat kecuali terhadap sengketa terkait verifikasi parpol dan daftar calon tetap (DCT) yang diselesaikan oleh pengadilan tinggi tata usaha negara (UU No. 8 Tahun 2012). Mirip dengan Pilpres dan Pileg 2009, mekanisme penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah (pilkada) juga tidak mengenal penyelesaian perselisihan selain perselisihan hasil (UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008). Akibatnya, banyak perselisihan pemilu/pilkada antara peserta dan penyelenggara pemilu/pilkada diluar perselisihan hasil yang tidak tertangani dengan baik melalui mekanisme yang ada dan/atau menumpuk di Mahkamah Konstitusi yang akhirnya harus dinyatakan tidak dapat diterima karena bukan merupakan kewenangan mahkamah, bahkan tidak jarang terjadi perselisihan antarlembaga penyelenggara pemilu yang berlarut-larut penyelesaiannya sehingga mengganggu pelaksanaan tahapan pemilu/pilkada secara keseluruhan.
Mencermati besarnya potensi permasalahan yang akan timbul akibat banyaknya perselisihan pemilu diluar perselisihan hasil yang tidak berhasil diselesaikan dengan baik, sebagian kalangan mengusulkan perlunya membentuk pengadilan khusus pemilu. Seberapa pentingkah pembentukan pengadilan khusus pemilu ini bagi penyelesaian perselisihan pemilu ? Perselisihan seperti apa yang dapat diproses melalui pengadilan khusus pemilu ? Apakah pengadilan khusus ini hanya untuk menangani perselisihan pileg dan pilpres saja, atau juga perselisihan pilkada ? Dimana posisi pengadilan khusus pemilu ini dalam lingkungan peradilan yang selama ini dikenal di Indonesia dan bagaimana mekanisme beracaranya ?
B. Pemilu dan P(em)il(u)kada Pasca Amandemen UUD 1945
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis. Tidak mengherankan bila pemilu seringkali diidentikkan dengan demokratisasi. Demokratis tidaknya suatu negara selalu dikaitkan dengan ada tidaknya pemilu di negara yang bersangkutan, karena pemilu merupakan refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi dari nilai-nilai demokrasi, disamping kebebasan berpendapat dan berserikat yang merupakan simbolisasi dari kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang berkuasa penuh, yang menentukan corak dan cara pemerintahan, dan yang menentukan tujuan apa yang hendak dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedaulatan (soverignty) menurut Harold J. Laski adalah kekuasaan yang sah (menurut hukum) yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap orang maupun golongan yang ada di dalam masyarakat yang dikuasainya. Sedangkan C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution mengatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan untuk membentuk hukum serta kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaannya.
Penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang telah berlangsung sebanyak 11 (sebelas) kali sejak tahun 1955, mengalami perubahan yang sangat mendasar pasca amandemen keempat UUD 1945 yang secara tegas membagi pemilu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (pileg). Dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, "Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, pemilu mana yang untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 2004 berbeda dengan pemilu sebelum amandemen keempat UUD 1945 yang tidak mengenal pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Perbedaan lain, pemilu pasca amandemen keempat UUD 1945 merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh sebuah lembaga yang dibentuk khusus untuk itu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Disamping secara eskplisit membedakan pemilu menjadi pilpres dan pileg atau dengan lain perkataan pilpres dan pileg merupakan bagian dari pemilu, UUD 1945 secara implisit sebenarnya mengakui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) sebagai bagian dari pemilu sekalipun pengaturannya tidak berada dalam bab yang sama dengan bab tentang pemilu (Bab VIIB), melainkan dalam bab tentang pemerintahan daerah (Bab VI). Kesimpulan ini didasarkan pada dua alasan, yaitu diberikannya kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada berdasarkan ketentuan Pasal 236C UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008, sementara menurut UUD 1945 salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilu dan adanya pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Atas dasar itulah, mengapa kemudian Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2008 sampai April 2014 lalu masih memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pilkada yang terjadi di Indonesia, karena pilkada dipandang sebagai bagian dari pemilu yang menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadilinya. Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dan pemilu presiden dan wakil presiden, merupakan bukti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya dijalankan oleh wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan eksekutif (presiden dan wakil presiden). Persoalannya, UUD 1945 tidak menempatkan pilkada sebagai bagian dari pemilu yang diatur dalam Pasal 22E, tapi justeru menempatkan pengaturannya dalam bab tersendiri. Hal ini menunjukkan sifat ambiguitas pembentuk UUD 1945, karena memandang pemilu hanya untuk memilih anggota DPRD, sedangkan kepala daerah cukup “dipilih secara demokratis” tetapi tidak melalui pemilu. Padahal menurut Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, kepala daerah (sebagai pemimpin pemerintah daerah) dan DPRD merupakan elemen utama pemerintahan daerah, tapi mengapa yang satu dipilih melalui pemilu sedangkan yang lain tidak?
Mengingat fungsi utama pemilu tidak hanya untuk membentuk perwakilan politik melalui badan legislatif, tapi juga membentuk legitimasi dan sirkulasi elit penguasa melalui badan eksekutif pusat dan daerah, maka pemilihan eksekutif daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) semestinya berada dalam satu paket dengan pemilu legislatif daerah (DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota). Oleh karena itu, pengaturan yang kurang tepat terkait dengan pilkada dalam Pasal 18 dan pemilu dalam Pasal 22E UUD 1945 perlu ditinjau ulang.
C. Perselisihan Pemilu dan Mekanisme Penyelesaiannya
C.1 Perselisihan atau Sengketa Pemilu ?
Perselisihan atau dalam istilah lain sering disebut sengketa (dispute), pada hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara dua pihak atau lebih, yang tidak dapat diselesaikan berdasarkan kesepakatan. Dalam praktik, penggunaan istilah perselisihan dan sengketa ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berbeda tapi dengan maksud yang sama. Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sengketa disamakan dengan perbedaan pendapat. Dengan istilah yang berbeda, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mendefinisikan perselisihan sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan. Dalam undang-undang yang lain, misalnya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, digunakan istilah sengketa tapi tidak merumuskan definisinya.
Dalam penyelenggaraan pemilu, penggunaan istilah sengketa dan perselisihan juga ditemukan pengaturannya dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berbeda. UUD 1945 menggunakan istilah perselisihan, yaitu perselisihan tentang hasil pemilu. Meskipun maksudnya adalah perselisihan karena kewenangan mengadilinya berada di tangan Mahkamah Konstitusi, UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 menggunakan istilah sengketa, yaitu sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sedangkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, Anggota DPD, dan Anggota DPRD menggunakan 3 (tiga) istilah berbeda, yaitu sengketa pemilu, sengketa tata usaha negara pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Dalam UU No. 8 tahun 2012 tersebut dijelaskan perbedaan antara sengketa pemilu, sengketa tata usaha negara pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Sengketa pemilu adalah sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Sengketa tata usaha negara pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Sedangkan perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Dari definisi-definisi di atas terlihat bahwa sebenarnya UU No. 8 Tahun 2012 sama sekali tidak memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan sengketa dan perselisihan, melainkan hanya memberikan batasan pengertian sengketa pemilu, sengketa tata usaha negara pemilu, dan perselisihan hasil pemilu dan perbedaannya antara yang satu dengan yang lain. Adapun perbedaan ketiga jenis perselisihan/sengketa dalam pileg tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Perbedaan Sengketa Pemilu, Sengketa TUN Pemilu, dan Perselisihan Hasil Pemilu dalam Pileg 2014
Sengketa Pemilu
1. Terjadi antarpeserta pemilu dan peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu
2. Terkait dengan proses penyelenggaraan pemilu diluar penetapan perolehan suara
3. Diselesaikan oleh Bawaslu dengan putusan yang bersifat final dan mengikat kecuali yang berkaitan dengan verifikasi parpol peserta pemilu dan DCT anggota DPR, DPD, dan DPRD
Sengketa TUN Pemilu
1. Terjadi antara calon anggota DPR, DPD, dan DPRD atau parpol calon peserta pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
2. Terkait dengan proses verifikasi parpol peserta pemilu dan DCT anggota DPR, DPD, dan DPRD
3. Diselesaikan oleh Pengadilan Tinggi TUN dengan putusan yang dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung
Perselisihan Hasil Pemilu
1. Terjadi antara peserta pemilu dan KPU
2. Terkait dengan penetapan perolehan suara
3. Diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang bersifat final dan mengikat
Dari perbedaan di atas, terdapat setidaknya 2 (dua) persoalan mendasar yang berpotensi mengganggu proses penyelesaian perselisihan pemilu, yaitu adanya penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu yang ikut terlibat dalam sengketa pemilu dan ketidakjelasan perbedaan antara sengketa pemilu dengan sengketa TUN pemilu. Keterlibatan penyelenggara pemilu tanpa pengecualian dalam sengketa pemilu jelas sangat aneh, mengingat penyelenggara pemilu menurut UU No. 15 Tahun 2011 dan UU No. 8 Tahun 2012 terdiri dari KPU selaku lembaga pelaksana pemilu dan Bawaslu selaku lembaga pengawas pemilu. Bagaimana mungkin Bawaslu bisa menyelesaikan suatu sengketa bila pada saat yang bersamaan lembaga tersebut menjadi pihak yang bersengketa? Selain itu, adanya 2 (dua) jenis sengketa yaitu sengketa yang berkaitan dengan verifikasi parpol peserta pemilu dan DCT anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menjadi kewenangan dua lembaga berbeda (Bawaslu dan Pengadilan Tinggi TUN) menggambarkan kerancuan pemikiran pembuat undang-undang dalam membedakan mana yang merupakan sengketa pemilu dan mana yang sengketa TUN pemilu. Mengapa harus ada sengketa TUN pemilu bila sengketa tersebut bisa diselesaikan oleh Bawaslu atau mengapa harus ada sengketa pemilu bila sengketa tersebut bisa diselesaikan pengadilan tata usaha negara?
Demi menjaga konsistensi dan sinkronisasi dengan rumusan UUD 1945 yang hanya mengenal istilah perselisihan bukan sengketa dalam penyelenggaraan pemilu, kiranya sangat tepat bila istilah sengketa dalam UU No. 8 Tahun 2012, UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008, dan UU No. 15 Tahun 2011 serta undang-undang baru tentang pilpres tahun 2014 yang akan datang, tidak lagi digunakan dan diganti dengan istilah perselisihan pemilu yang meliputi perselisihan hasil pemilu dan perselisihan diluar hasil pemilu. C.2 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Pemilu C.2.1 Perselisihan Hasil Pemilu Meskipun dilihat dari sistematika penulisan pasal sangat jelas bahwa UUD 1945 tidak menyatakan pilkada sebagai bagian dari pemilu, namun kenyataannya sejak perubahan kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam UU No. 12 Tahun 2008, pilkada dipandang sebagai bagian dari pemilu dengan diberikannya kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pilkada berdasarkan ketentuan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 yang berbunyi, "Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008 di atas, terlihat bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berwenang menangani atau menyelesaikan perselisihan hasil pemilu dan pilkada saat ini. Mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilu yang ada saat ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang merupakan dasar hukum Pemilu Legislatif Tahun 2014 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 yang merupakan dasar hukum pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada). Sedangkan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014, meskipun undang-undang yang mengaturnya belum ada, namun pengaturan yang bersifat umum dapat ditemukan dalam Pasal 74 sampai 79 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 yang juga memuat aturan tentang penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPR, dan DPRD. Secara umum, perselisihan hasil pemilu baik pileg maupun pilpres dan pilkada menurut ketiga undang-undang diatas diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan secara khusus, perselisihan hasil Pileg diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, sementara perselisihan hasil Pilpres (saat ini masih) diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan perselisihan hasil Pilkada diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah.
Dalam perselisihan hasil pileg dan pilpres, Mahkamah Konstitusi wajib menjatuhkan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi untuk pilpres dan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi untuk pileg. Sedangkan dalam perselisihan hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Seiring dengan berjalannya waktu, eksistensi Mahkamah Konstitusi sebagai pengadil perselisihan hasil pemilu dan pilkada berubah menjadi seolah-olah seperti "keranjang sampah" karena semua persoalan sengketa pemilu dan pilkada –bukan hanya sengketa hasil, bermuara ke sana. Berdasarkan praktik yang terjadi di lapangan, perselisihan pemilu khususnya pilkada sudah terjadi jauh sebelum penetapan hasil atau pada tahapan demi tahapan pilkada. Beberapa kasus atau keberatan ke badan peradilan (MA dan MK) pada umumnya berisi fakta-fakta tentang adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sejak awal, seperti surat suara yang tidak didistribusikan kepada yang berhak memilih, menghalangi massa atau pendukung calon tertentu untuk menggunakan hak pilihnya, tidak membagikan kartu pemilih dan surat undangan untuk memilih, memberikan iming-iming uang kepada para pemilih (money politic), pelanggaran saat kampanye, pembakaran/perusakan surat suara, pencoblosan surat suara oleh anak-anak dibawah umur untuk menggelembungkan suara, penyalahgunaan jabatan untuk mendapatkan dukungan, kampanye hitam (black campaign), keberpihakan penyelenggara secara kelembagaan (KPPS, PPS, PPK, dan KPU) kepada salah satu calon, menempatkan TPS di lokasi-lokasi terlarang dan/atau menghambat kelancaran pemungutan suara, dan lain-lain.
Meskipun para pihak yang bersengketa sangat memahami keterbatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang hanya mengadili perselisihan hasil, namun karena dalam beberapa putusannya Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Mahkamah tidak hanya mengadili kesalahan penghitungan perolehan suara melainkan mengadili adanya dugaan pelanggaran serius yang terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara masing-masing pasangan calon, sekecil dan sesepele apa pun permasalahan yang terjadi selama proses penyelenggaraan pilkada, dimasukkan juga dalam alasan keberatan permohonan. Tidak mengherankan, bila dari 729 perkara perselisihan hasil pilkada sepanjang tahun 2008 sampai 2014, hanya 68 perkara yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi, sedangkan sisanya ditolak (450 perkara), tidak diterima (148 perkara), ditarik kembali (20 perkara), dan gugur (3 perkara). Kondisi ini jelas menimbulkan ketidakpuasan publik khususnya pihak-pihak yang mengajukan permohonan, karena sekalipun berbagai dugaan pelanggaran yang didalilkan telah terbukti menurut hukum, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang mengabulkannya apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi perolehan suara masing-masing pasangan calon. C.2.2 Perselisihan Diluar Hasil Pemilu Istilah perselisihan diluar hasil pemilu tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan mana pun di Indonesia yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu dan pilkada, mulai dari UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah, sampai peraturan Mahkamah Konstitusi. Istilah perselisihan diluar hasil pemilu dimaksudkan untuk mengimbangi istilah perselisihan hasil pemilu yang sudah jelas batasan dan definisinya, sementara istilah sengketa atau perselisihan yang selama ini dikenal tidak cukup mengakomodir adanya perselisihan-perselisihan lain diluar yang sudah diatur dalam undang-undang. Sebagaimana diketahui, UUD 1945 hanya mengenal perselisihan hasil pemilu, tapi tidak menjelaskan perselisihan lain diluar hasil pemilu. Begitu pula UU No. 8 tahun 2012, selain perselisihan hasil dan pelanggaran pidana, hanya mengenal sengketa pemilu (selain sengketa tata usaha negara pemilu), tapi tidak cukup menjelaskan apa yang sebenarnya dimaksud dengan sengketa pemilu dan mengapa ada sengketa pemilu (yang berkaitan dengan verifikasi parpol peserta pemilu dan DCT anggota DPR, DPD, dan DPRD) yang kemudian berubah menjadi sengketa tata usaha negara pemilu. Dimasukkannya sengketa pemilu dan sengketa tata usaha negara pemilu dalam UU No. 8 Tahun 2012 disamping pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi pemilu, tindak pidana pemilu, dan perselisihan hasil pemilu, merupakan hal yang baru karena UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD hanya mengenal 3 (tiga) macam pelanggaran/sengketa, yaitu pelanggaran administrasi pemilu, pelanggaran pidana pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Namun yang menjadi persoalan, disamping ketidaktepatan pemberian wewenang kepada Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa pemilu karena tidak tertutup kemungkinan dirinya sendiri menjadi pihak dalam sengketa dan inkonsistensi sifat putusan Bawaslu –bisa bersifat final dan mengikat, tapi bisa juga dilanjutkan ke pengadilan tinggi tata usaha negara, juga menutup ruang bagi lembaga peradilan lain khususnya pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadili perselisihan diluar perselisihan hasil pemilu dan sengketa tata usaha negara pemilu. Padahal, tidak tertutup kemungkinan keputusan-keputusan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu tidak bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara karena sifatnya yang tidak konkrit, individual, dan final serta termasuk keputusan tata usaha negara yang dikecualikan menurut Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009. Misalnya, pencetakan surat suara yang tidak memenuhi standar dan/atau merugikan partai politik peserta pemilu dan kesalahan dalam penyusunan daftar pemilih tetap (DPT). Pelanggaran-pelanggaran tersebut mungkin bisa diselesaikan oleh Bawaslu sebagai pengadil pelanggaran administrasi, tapi selain berpotensi tidak dipatuhi oleh pihak-pihak yang terkena sanksi, dampak putusan Bawaslu dipastikan tidak mampu mengubah akibat dari pelanggaran yang telah terjadi.
Kondisi lebih buruk ditemukan dalam penyelenggaraan pilkada. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 sama sekali tidak mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan diluar hasil pilkada. Demikian pula halnya dengan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, kewenangan Bawaslu hanya terbatas pada pengawasan proses penetapan hasil, tapi tidak berwenang menyelesaikan sengketa/perselisihan yang timbul selama proses penyelenggaraan pilkada. Tidaklah mengherankan bila berbagai pelanggaran dan/atau perselisihan yang terjadi selama penyelenggaraan pilkada diluar perselisihan hasil, diajukan baik ke pengadilan tata usaha negara maupun pengadilan negeri, bahkan ke mahkamah konstitusi.
D. Desain Pengadilan (Khusus) Perselisihan Pemilu
Tidak cukup tersedianya mekanisme penyelesaian perselisihan diluar hasil pemilu yang diatur dalam undang-undang yang ada, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kekecewaaan serupa terhadap proses penyelesaian perselisihan pemilu yang terjadi pada masa lalu bahkan sampai hari ini. Ide pembentukan peradilan khusus yang kian berkembang sejak masa setelah reformasi yang dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan perkembangan akan keadilan yang semakin kompleks dalam masyarakat, menginspirasi beberapa kalangan untuk mendorong pembentukan pengadilan khusus pemilu. Sayang, gagasan tersebut belum diikuti dengan format yang jelas, sehingga sampai sekarang pengadilan khusus pemilu belum dapat diwujudkan.
Pengadilan khusus perselisihan pemilu harus dibedakan dengan pengadilan khusus pemilu yang kewenangannya dapat meliputi baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana. Pengadilan khusus perselisihan pemilu diharapkan menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu baik yang bersifat administrasi maupun perdata sebelum ditetapkannya hasil pemilu. Untuk mensinkronkan dengan jenis-jenis badan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang ada di Indonesia saat ini yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer, yang mengenal beberapa pengadilan khusus seperti pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan hak asasi manusia, yang merupakan pengadilan khusus di bawah lingkungan peradilan umum, pengadilan khusus perselisihan pemilu atau yang dinamakan pengadilan perselisihan pemilu berada di salah satu dari 4 (empat) lingkungan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung. Sebagaimana halnya pengadilan-pengadilan khusus lain dan untuk memberi dasar pijakan yuridis yang kuat, pengadilan khusus perselisihan pemilu harus dibentuk melalui sebuah undang-undang dengan tetap memperhatikan undang-undang terkait lainnya seperti UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009, UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009. Mengingat perselisihan atau sengketa pemilu dapat berada baik dalam lingkup hukum tata usaha negara maupun hukum perdata, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/KPU Kota baik yang bersifat konkrit, individual, dan final maupun yang bersifat umum dan abstrak dan/atau merupakan perbuatan hukum perdata yang merugikan pihak lain (publik atau individu) dalam penyelenggaraan pemilu, maka pengadilan khusus perselisihan pemilu dapat dibentuk baik di lingkungan peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara dengan obyek perselisihan yang berbeda. Pengadilan perselisihan pemilu di lingkungan peradilan umum berwenang memeriksa dan mengadili perselisihan yang berhubungan dengan pelanggaran hak dan/atau administrasi yang merugikan kepentingan umum. Sedangkan pengadilan perselisihan pemilu di lingkungan peradilan tata usaha negara berwenang memeriksa dan mengadili perselisihan yang berhubungan dengan pelanggaran administrasi yang merugikan kepentingan individu atau badan hukum perdata dan bukan merupakan keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang dikecualikan menurut Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 8 Tahun 1986. Dengan dibentuknya pengadilan perselisihan pemilu di lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara, maka seluruh perselisihan atau sengketa diluar perselisihan hasil yang terjadi selama proses pemilu baik pilpres maupun pileg dan pilkada menjadi kewenangan pengadilan ini untuk memeriksa dan mengadilinya. Terkait dengan pilkada, bila pembentuk undang-undang memutuskan bahwa pilkada bukan merupakan bagian dari pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 melainkan bagian dari pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945, maka pengadilan khusus ini tetap dapat diberi kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan pemilihan kepala daerah dengan menggunakan hukum acara yang sama dan melakukan penyesuaian nama dari pengadilan perselisihan pemilu menjadi pengadilan perselisihan pemilu dan pilkada. Bahkan, bila usulan pemerintah dalam RUU Pilkada agar penyelesaian perselisihan hasil pilkada dikembalikan ke daerah –tidak lagi ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, disetujui oleh DPR, pengadilan perselisihan pemilu/pilkada tetap bisa dipakai untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkada.
Mengingat dalam beberapa kasus sengketa pemilu dan pilkada yang diajukan baik ke pengadilan negeri maupun pengadilan tata usaha negara diselesaikan dengan menggunakan hukum acara masing-masing lingkungan peradilan, dimana baik hukum acara tata usaha negara maupun hukum acara perdata mengatur tahap pemeriksaan yang sangat panjang dan semakin panjang manakala pihak-pihak yang berselisih menempuh upaya hukum (banding, kasasi, dan peninjauan kembali), maka kekhususan pengadilan perselisihan pemilu/pilkada ini terletak pada hukum acaranya yang mengharuskan penyelesaian perkara secara cepat (speedy trial), sebagaimana diberlakukan dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. Hal ini disebabkan karena putusan pengadilan terhadap perselisihan pemilu/pilkada dapat mempengaruhi tahapan kegiatan pemilu/pilkada, sehingga putusan pengadilan perselisihan pemilu/pilkada harus bersifat final dan mengikat (final and binding) pada tingkat pertama dan terakhir dengan waktu pengajuan dan penyelesaian yang terbatas, yaitu 3 x 24 jam sejak dikeluarkannya keputusan KPU untuk pengajuan permohonan dan diputus paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara.
Melihat beberapa kekhususan pengadilan perselisihan pemilu/pilkada yang hampir mirip dengan Mahkamah Konstitusi ini, maka kesiapan sumber daya hakim yang akan memeriksa dan mengadili perselisihan pemilu/pilkada minimal harus setara dengan para hakim yang ada di Mahkamah Konstitusi. Mereka haruslah para hakim karir dan nonkarir yang handal dan berkompeten di bidang kepemiluan dan hukum administrasi pemilu serta memiliki integritas moral yang tinggi.
E. Penutup
Penyelesaian perselisihan pemilu yang tidak tuntas dan kurang memberikan rasa adil bagi para pihak yang berselisih, berpotensi menimbulkan masalah yang lebih serius bila hanya disandarkan pada mekanisme penyelesaian perselisihan yang ada saat ini. Pengadilan (khusus) perselisihan diluar hasil pemilu yang meliputi baik pilpres dan pileg maupun pilkada, dengan beberapa kekhususan seperti sifat putusan yang final dan mengikat, proses penyelesaian yang cepat, dan tanpa biaya, serta hakim-hakim yang berintegritas, diharapkan menjadi salah satu solusi dari kelemahan mekanisme penyelesaian perselisihan pemilu selama ini. Melalui pengadilan khusus yang dibentuk baik di lingkungan peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara, maka tidak ada satu perselisihan pun yang tidak bisa diperiksa dan diadili, sehingga pihak-pihak yang tidak puas atas penyelenggaraan pemilu dan pilkada dapat menempuh jalur hukum sesuai kewenangan yang dimiliki masing-masing pengadilan khusus.
Untitled Document