Untitled Document
  • Ranperda Anjal dan Pengemis, Perlukah ?

    Pemerintah Kota Padang sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Anak Jalanan dan Pengemis yang didalamnya memuat ketentuan sanksi berupa denda sebesar Rp. 5 juta terhadap pemberi sumbangan pada anak jalanan dan pengemis (Padang Ekspres, 6 Desember 2010). Andai jadi disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda), maka Ranperda ini akan menjadi senjata ampuh bagi Pemerintah Kota Padang untuk menindak para pemberi sumbangan atau sedekah yang dianggap sebagai penyebab meningkatnya jumlah anak jalanan dan pengemis di kota ini. Pertanyaannya, perlukah mengatur upaya pengurangan anak jalanan dan pengemis di Kota Padang dengan sebuah Perda yang didalamnya memuat ketentuan sanksi denda kepada para pemberi sumbangan?
    Seperti lazim terjadi, setiap rencana kebijakan baru yang akan dikeluarkan oleh pemerintah selalu mengundang perdebatan banyak pihak manakala kebijakan itu lahir bukan dari hasil kajian yang mendalam dan melalui proses konsultasi publik (public consultation). Akibatnya, timbul pro dan kontra di tengah masyarakat, sementara pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) berjalan terus (dengan rencananya) tanpa bisa dihentikan, bak pepatah ‘anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu’. Keberadaan Ranperda Kota Padang tentang Anjal dan Pengemis yang diperdebatkan publik (dan ditentang sejumlah anggota DPRD Kota Padang) ini, patut diduga, lahir bukan karena desakan dari kalangan akar rumput (mambasuik dari bumi – bottom-up) tapi datang dari kalangan elit di pemerintahan (manitiak dari langiktop-down) yang tidak pernah dikonsultasikan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama yang akan terkena dampak langsung dari kebijakan baru tersebut.
    Memperdebatkan perlu tidaknya Ranperda Anjal dan Pengemis merupakan hal yang bukan hanya wajar tapi justeru suatu keniscayaan dalam iklim demokrasi. Sekalipun terkadang kita sering terjebak dalam perdebatan yang bersifat teknis dan alpa dengan hal-hal substantif yang seharusnya menjadi fokus perdebatan. Hal ini juga wajar, karena ketika ‘diajak’ memperdebatkan sebuah ranperda, kita tidak memiliki cukup informasi dan referensi terkait dengan substansi yang ada dalam ranperda tersebut kecuali beberapa lembar kertas yang didalamnya sudah termuat judul ranperda, bab demi bab, dan pasal demi pasal. Meskipun sebuah ranperda bisa saja menjadi bahan perdebatan, namun kajian secara mendalam dan ilmiah sulit dilakukan karena hal-hal substantif yang menjadi dasar dan/atau alasan lahirnya ranperda tidak tergambar secara lengkap dan jelas. Biasanya, penggagas ranperda akan sangat sulit memberikan klarifikasi/jawaban ketika yang diperdebatkan/dipertanyakan adalah persoalan/masalah yang melatarbelakangi lahirnya ranperda, mengapa harus diatur dengan perda, tidakkah ada cara lain untuk mengatasi masalah tersebut, dan apakah aturan/perda yang ada tidak cukup mampu mengatasi masalah dimaksud, dan lain sebagainya.
    Ketidakmampuan penggagas dalam meyakinkan publik akan penting dan perlunya sebuah perda bagi suatu daerah tidak lain karena ranperda yang diusulkan seringkali tidak didukung dengan Naskah Akademis, suatu dokumen yang memuat kajian komprehensif atas substansi permasalahan dan materi muatan yang akan dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Selama ini, pembentukan ranperda yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya berdasarkan pertimbangan fragmatis dan banyak yang hanya kopi-tempel (copy-paste) dari Perda-perda lain yang didapat dari hasil studi banding dan/atau kunjungan kerja (kunker) di daerah lain. Padahal, sebuah ranperda yang memiliki Naskah Akademis (seharusnya) mampu memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan dan kekhawatiran sebagian pihak bila ranperda tersebut disahkan menjadi perda, sekaligus mempermudah siapa saja yang bermaksud mengkritisi dan/atau memperkaya muatan-muatan yang akan diatur didalamnya. Dalam konteks Ranperda Anjal dan Pengemis, Naskah Akademis harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar misalnya mengapa anjal dan pengemis perlu diatur dengan perda, efektifitas pengenaan sanksi terhadap pemberi sumbangan, dan bagaimana kaitannya dengan perda lain yang sudah ada seperti Perda Kota Padang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (diubah dengan Perda Kota Padang Nomor 4 Tahun 2007), yang juga mengatur masalah anak jalanan dan pengemis tapi tidak berlaku efektif. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut tak terjawab secara meyakinkan dalam Naskah Akademis, maka keberadaan Ranperda tentang Anak Jalanan dan Pengemis yang digagas Pemerintah Kota Padang (bila akhirnya disetujui oleh DPRD) dipastikan akan bernasib sama dengan Perda-perda terdahulu, yang ada tapi tiada, yang berlaku tapi tidak efektif, dan yang tidak menyelesaikan masalah tapi justeru berpotensi menimbulkan masalah!



    Untitled Document