-
Reformasi Sistem Hukum Indonesia
Pemerintah Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Cita-cita luhur the founding fathers Bangsa Indonesia yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 itu ditetapkan sebagai tujuan hidup Negara Indonesia yang berbentuk Republik, berkedaulatan rakyat, dan berdasarkan hukum.
Sebagai sebuah negara hukum (rechsstaat) yang berbentuk Republik dan berkedaulatan rakyat, Indonesia yang dicita-citakan tentu mustahil terwujud bila sistem hukum yang dibangun tidak cukup kokoh untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem hukum nasional yang dibangun seyogyanya mampu mewujudkan tujuan hukum sebagaimana pernah ditegaskan oleh Aristoteles yaitu untuk menegakkan keadilan (Oetarid Sadino:1985), atau Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu untuk mendatangkan kebahagian yang sebesar-besarnya bagi masyarakat (Riduan Syahrani:1999). Dengan lain perkataan, sistem hukum nasional memiliki peran yang besar bagi terwujudnya keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Meskipun sebutan rechsstaat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia telah cukup lama disandang, namun bangsa ini masih belum bisa disebut sebagai negara hukum yang sesungguhnya. Realitas yang terjadi hari ini memperlihatkan secara gamblang betapa banyaknya norma-norma hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan (mulai dari UUD 1945 sampai peraturan daerah) yang kurang memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak warga negara sehingga hanya sekadar menjadi law in the book dan bahkan tak berfungsi sama sekali (slapende regeling).
Dalam tataran implementasi, tak sedikit pelanggaran hukum yang terjadi bahkan oleh aparat penegak hukum sendiri. Empat catur wangsa penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan hukum justeru menjadi contoh tidak baik, melindungi para pelanggar hukum atau menegakkan hukum dengan melanggar hukum. Wajar bila kemudian masyarakat seakan tidak lagi percaya dengan hukum dan aparat penegak hukum, sehingga terkadang lebih suka main hakim sendiri (eigenrichting) dalam merespon berbagai pelanggaran hukum yang terjadi di depan mata. Hukum, aparat penegak hukum, dan masyarakat yang seharusnya bersinergi justeru berjalan sendiri-sendiri dan saling berbenturan.
Bila merujuk pada realitas yang digambarkan di atas, maka sesungguhnya republik ini sedang mengalami persoalan hukum yang sangat serius. Tiga pilar atau unsur yang membangun hukum sebagai sebuah sistem sebagaimana diteorikan oleh Lawrence M. Friedman sebagai three elements of legal system, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture), yang seharusnya berjalan simultan dan sinergis tampaknya masih jauh dari harapan. Ibarat sebuah segitiga sama sisi, sistem hukum nasional yang dibangun selama ini belum didukung dengan struktur, substansi, dan budaya hukum yang kuat sehingga sistem hukum yang ada masih terlalu rapuh bak ‘segitiga patah sisi’ untuk dijadikan pijakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, masalah fundamentalnya adalah sistem hukum nasional yang masih rapuh, disebabkan oleh lemahnya tiga elemen pokok (struktur, substansi, dan budaya hukum) yang membentuk sistem hukum itu sendiri.
Rapuhnya sistem hukum nasional sebagai akibat masih lemahnya tiga elemen dasar yang membentuknya di atas, berimplikasi pada terhambatnya perwujudan kesejahteraan umum sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945. Sistem hukum nasional yang rapuh sudah pasti tidak akan mampu membawa negara ini menjadi sebuah entitas yang mensejahterakan rakyatnya karena apa pun yang dilakukan negara belum akan memenuhi rasa keadilan dan kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada upaya lain yang paling tepat (menurut hemat penulis) dalam menghadapi carut-marut hukum yang tengah dihadapi bangsa ini, kecuali segera mereformasi sistem hukum yang kita miliki dengan membenahi (setidaknya) tiga elemen kunci yang membentuknya.
Pertama, pembenahan substansi hukum (legal substance) harus dilakukan mulai dari jenjang tertinggi (UUD 1945, misalnya memurnikan sistem presidensial, penegasan sistem pemilu/pilkada, dan penguatan fungsi DPD) hingga terendah (Perda, misalnya jaminan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pengarusutamaan anggaran untuk kepentingan publik) sehingga dapat mengeliminasi celah-celah ketentuan hukum, yang lazim dijadikan justifikasi guna membenarkan tindakan yang menyimpangi kepatutan. Peraturan perundang-undangan (UU, PERPU, PP, dan Perpres) yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertabrakan satu sama lain serta tidak lagi sesuai dengan kondisi kekinian, harus dicabut dan/atau direview sesuai mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tercipta harmonisasi dan sinkronisasi hukum.
Kedua, reformasi birokrasi pemerintahan dan lembaga penegak hukum (legal structure), sehingga lahir aparatur pemerintah dan penegak hukum yang bermoral dan berintegritas melalui pembenahan sistem rekrutmen, peningkatan kapasitas, pengawasan, dan punishment/reward. Aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum harus menjadi ujung tombak kepatuhan pada hukum dan pemberi rasa adil bagi masyarakat.
Ketiga, reformasi budaya hukum (legal culture), yaitu pembenahan sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapannya. Budaya hukum juga mencakup suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Diperlukan gerakan massal dan massif dengan dukungan penuh dari seluruh rakyat, beserta komitmen riil dari pemegang kekuasaan pemerintahan untuk bertindak dan berperilaku patuh kepada hukum sebagai budaya “baru” masyarakat kita. Bila dikembalikan pada gagasan dasar yang terkandung dalam UUD 1945, maka sikap yang harus dibangun atau dikembangkan adalah sikap yang terbuka, hormat menghormati, dan tidak individual. Pilihan terhadap negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang bermakna negara hukum yang demokratis, mengandung arti bahwa kita telah memilih untuk tunduk dan taat terhadap hukum. Pilihan itu juga berarti bahwa hukum ditempatkan dan dijadikan sebagai aturan main utama dan tertinggi dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.
Reformasi sistem hukum melalui pembenahan seluruh elemen (legal substance, legal structure, dan legal culture) kunci yang membentuknya bukan suatu hal yang mustahil untuk dilakukan, mengingat seluruh elemen bangsa ini memiliki keinginan yang sama untuk mewujudkan republik ini menjadi negara yang mensejahterakan rakyatnya. Tentu penyelenggara negara, politisi, tokoh masyarakat, dan aparatur penegak hukumlah yang semestinya berada di garda terdepan memulai dan memimpin langkah-langkah pembenahan dengan secara terus-menerus memberi ruang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi didalamnya.
Untitled Document