Untitled Document
  • Zona Zero Corruption ?

    Ajakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada jaksa, polisi, dan hakim agar berhenti melakukan korupsi (TEMPO Interaktif, 30/12), patut dicermati dengan serius karena mengandung makna yang sangat dalam. Pertama, KPK merasa ‘tidak punya teman’ dalam memberantas korupsi bila jaksa, polisi, dan hakim juga ikut korup karena praktis KPK akan berjalan sendirian. Kedua, pelaku korupsi (hari ini) tidak lagi berasal dari kalangan tertentu (penguasa dan pengusaha) saja, tapi juga oleh jaksa, polisi, dan hakim yang nota bene adalah aparat penegak hukum yang seharusnya berdiri di barisan terdepan dalam memberantas korupsi. Ibarat gurita raksasa, perilaku koruptif kini telah menjalar (menggurita) kemana-mana dan melahap apa saja yang ada di sekitarnya sehingga negeri ini berada diambang kebangkrutan (bankruptcy)!
    Benar, sudah ada tindakan tegas yang dilakukan terhadap polisi, jaksa, dan hakim yang terlibat dan/atau melakukan korupsi. Banyak polisi, jaksa, dan hakim nakal yang sudah dihukum dan dipecat. Tapi apakah hal itu akan menjamin negeri ini bersih dari korupsi? Ancaman hukuman (penjara seumur hidup atau mati) bagi pelaku korupsi yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seakan tak membuat ciut nyali para calon koruptor. Buktinya, semakin banyak kasus-kasus korupsi yang berhasil dibongkar. Semakin banyak kepala/wakil kepala daerah dan anggota DPR/DPRD yang dijebloskan ke penjara karena melakukan korupsi. Sebaliknya, korupsi seolah telah menjadi kebutuhan bahkan tuntutan hidup. Beratnya ancaman hukuman tidak membuat takut tapi justeru  menjadi stimulus dan inspirasi bagi para koruptor untuk lebih kreatif berkorupsi.
    Melihat kenyataan yang ada, sungguh sangat sulit mewujudkan ajakan KPK untuk berhenti korupsi kepada semua orang, karena yang dibutuhkan saat ini adalah upaya-upaya luar biasa (extraordinary efforts) dari perpaduan antara upaya pencegahan dan penegakan yang dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan lebih mengedepankan aspek penegakan ketimbang pencegahan, itupun belum menggunakan cara-cara yang luar biasa. Belum lagi berbagai penyimpangan yang terjadi dalam praktek penegakan hukum yang membuat wajah pemberantasan korupsi kian coreng-moreng. Di sisi lain, polisi, jaksa, dan KPK masih bersifat menunggu adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat, baru kemudian melakukan penyelidikan. Padahal tanpa laporan atau pengaduan, misalnya berdasarkan pemberitaan media massa atau  desas-desus saja, aparat penegak hukum dapat secara proaktif melakukan penyelidikan. Begitu pula dengan pengadilan, sampai saat ini masih dianggap sebagai lembaga yang cenderung membebaskan koruptor. Agaknya, hampir tidak ada lagi institusi hukum di negeri ini yang ditakuti oleh para koruptor.
    Himbauan saja jelas tidak cukup. KPK harus mengefektifkan langkah-langkah pencegahan korupsi khususnya melalui penyelenggaraan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan dan kerjasama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi serta kampanye ‘korupsi dan dosa turunan’ di kalangan aparatur penyelenggara negara. Republik ini tidak akan mungkin menjadi daerah bebas korupsi (zero corruption zone), bila upaya pemberantasannya hanya mengandalkan tindakan represif tapi menomorduakan tindakan preventif dari satu institusi (KPK) saja. Semua kekuatan anti-korupsi harus bersatu menyuarakan perlawanan terhadap perilaku koruptif dan memberikan dukungan terhadap siapa saja (termasuk seorang mafia sekalipun) yang berani membongkar praktek tak terpuji itu!



    Untitled Document